Ashree Kacung
“Cultural identities are the points of identification, the unstable points of identification or suture, which are made, within the discourses of history and culture”
Stuart Hall
Diponegoro Karya Raden Saleh
“Perjanjian tahun 1677 merupakan kekalahan politik berat bagi Mataram terhadap VOC. Oleh karena itu, status kadipaten pun dirubah menjadi kabupaten dengan wedana Bupati Mancanegara Wetan, Mas Toemapel yang juga merangkap sebagai Bupati I yang berkedudukan di Jipang pada tanggal 20 Oktober 1677. Maka tanggal, bulan dan tahun tersebut ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Bojonegoro.”
Kalimat diatas adalah pernyataan dari situs resmi Pemerintah Kabupaten Bojonegoro yang terbuka untuk dibaca masyarakat luas. Dari penggalan sejarah tersebut, pemerintah Bojonegoro menetapkan dan mengesahkan bahwa tiap tanggal 20 Oktober diperingatilah Hari Jadi Bojonegoro. Peringatan ini jelas sebagaimana pernyataan diatas adalah titi wanci perubahan status Djipang dari kadipaten menjadi kabupaten. Sebelumnya Djipang hanyalah sebuah daerah dari kerajaan Jawa yang dipimpin seorang tumenggung. Dipang juga dulunya adalah wilayah kerajaan Pajang hingga memisahkan diri dan ikut masuk dalam kerajaan Mataram sampai akhirnya berada dalam karesidenan Rembang pada Januari 1816.
Sejarah panjang perubahan nama Bojonegoro juga menarik untuk ditinjau ulang. Ada dua nama sebelum akhirnya Bojonegoro menjadi sebuah nama resmi hingga sekarang. Ketika tahun 1824 residen Rembang dengan alasan memudahkan kontrol atas lusnya daerah hutan jati, nama Djipang dirubah menjadi Radjegwesi. Dari nama Radjegwesi kemudian baru muncul Bodjonegoro.
Diatas sudah disebutkan bahwa tanggal 20 Oktober merupakan perubahan status Djipang dari kadipaten menjadi kabupaten, namun kapankah sebenarnya nama Bodjonegoro pertama kali diresmikan? sebuah tulisan sarjana belanda bernama Jacobus Noorduyn pada Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde ( Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia) mengungkap beberapa fakta tentang sejarah Bojonegoro. Meskipun J. Noorduyn juga mengakui dalam tulisannya bahwa dia begitu kesulitan untuk mengetahui seluk beluk Bojonegoro karena memang sangat sedikitnya artikel tetang Bojonegoro.
J. Noorduyn menulis dua artikel tentang bojonegoro, pertama Further topographical notes on the Ferry Charter of 1358, with appendices on Djipang and Bodjanegara terbit tahun 1968 dan Hoe het regentschap Bodjonegoro in 1828 deze naam kreeg terbit tahun 1984. Dari dua artikel inilah dapat diketahui tentang perubahan nama Bojonegoro.
Nama Bojonegoro bukan begitu saja muncul menggantikan nama sebelumnya. Ada rentetan panjang perubahan, itu setelah terjadi Perang Jawa tahun 1825 – 1830. Selama perang tersebut daerah Rajekwesi yang masih masuk dalam karesidenan Rembang begitu sulitnya ditaklukan oleh belanda. Perang perebutan Rajekwesi terjadi mulai 28 November 1827 sampai Maret 1828. Raden Tumenggung Sastra di Laga yang adalah anak dari Tumenggung Purwo Negoro (Mantan Bupati Radjekwesi) memimpin perang dengan begitu gigihnya. Tumenngung Sastra di Laga juga merupakan saudara ipar dari Pangeran Diponegoro.
Lalu, siapa yang mengusulkan perubahan nama Radjekwesi menjadi Bojonegoro?. Setelah dikuasai Belanda serta karena alasan keamanan, kota lama dipindahkan kearah utara dan akan diberi nama “Radjek Wesi Baru”. Namun Adipati Djoyo Negoro, Bupati saat itu kurang setuju dengan nama tersebut dan mulai mengusulkan nama baru tanggal 4 Juli 1828 pada Komisaris Jenderal Hindia Belanda melalui karesidenan Rembang.
Tanggal 10 juli 1828 adipati Djoyo Negoro, Bupati Radjek Wesi dimintai alasan tentang perubahan nama tersebut dan menjelaskan dengan penuh hormat tentang impiannya bahwa Bodjo Negoro akan menjadi kota yang damai dan penuh anugerah. Maka dua hari setalah itu, yakni 12 juli 1828 Asisten Residen Rembang J. B. Baron de Salis mengirimkan surat kepada Letnan Gubernur Jenderal di Buitenzorg Semarang. Hingga akhirnya pada 25 September 1828 Komisaris Jenderal Hindia Belanda melalui surat No.14 memberikan keterangan bahwa “heeft goedgevonden en verstaan, aan het door den regent van Radjak wessie gedaan verzoek gevolg gevende, te bepalen, zoo als geschiedt bij deze, dat het regentschap van dien naam, gelegen in de residentie Rembang in den vervolge den naam zal dragen van Bodjo Negoro” – telah menyetujui dan memahami atas permintaan Bupati Radjek Wesi serta memberikan ketentuan , bahwa Kabupaten dengan nama yang sama, yang terletak di karesidenan Rembang untuk selanjutnya akan menanggung nama Bodjo Negoro.
Dari dua penanggalan peristiwa diatas, yakni 20 Oktober 1677 dimana kadipaten Djipang berubah menjadi kabupaten dan penetapan nama Bojonegoro 25 September 1828 dapat kita bandingkan sebagai titik tolak kelahiran Bojonegoro. Dua-duanya adalah fakta sejarah yang merupakan bagian rentetan peristiwa yang melingkupi Bojonegoro hingga kini. Tetapi perlu kemudian kiranya ditinjau ulang apakah pemakaian tangal 20 Oktober sebagai Hari Jadi Bojonegoro sudah tepat dan sesusai dengan semangat Bojonegoro saat ini.
Ditengah-tengah proses pembangunan, perkembangan, perubahan dan pencarian identitas kultural ke-Bojonegoro-an yang masih juga belum menemui ujung, peristiwa 25 September beserta yang melingkupinya merupakan sebuah tawaran yang relevan sebagai pondasi awal pembangunan karakter dan semangat Bojonegoro kini dan akan datang. Kita tidak menafikan bahwa peristiwa 20 Oktober sebagai yang tidak penting, tetapi semangat perubahan bisa kita rasakan begitu menggeloranya pada peristiwa 25 September.
Beberapa hal patut dicatat dari lingkup peristiwa 25 September, Pertama bahwa semangat kemandirian dan lepas dari penjajahan Belanda dimulai oleh Adipati Purwo Negoro yang melakukan serangan secara terbuka kepada J. Borwater, Asisten Residen Rajekwesi waktu itu pada 16 Oktober 1824. Akibat peristiwa ini Adipati Purwo Negoro digantikan oleh Raden Tumenggungg Djoyo Nëgoro yang merupakan anak tertuanya. Kedua, selama Perang Jawa Tumenggung Sastra di Laga dengan begitu heroiknya memimpin orang lokal untuk angkat senjata berperang mengusir Belanda, hingga Rajekwesi merupakan daerah yang sulit untuk ditaklukan. Ketiga, usaha gigih Raden Tumenggungg Djoyo Nëgoro dalam negosiasi dan mediasi yang bisa meyakinkan belanda untuk perubahan nama Rajekwesi menjadi Bojonegoro.
Sampai disini, ketiga catatan diatas dengan berbagai figur yang melingkupi dapat dilihat dengan teramat gamblang betapa karakter masyarakat Bojonegoro dengan kegigihannnya, semangatnya, usahanya dalam melepaskan diri dari cengkeraman penindasan patut mendapatkan apresiasi yang teramat besar. Saatnya semangat momentum peristiwa 25 September dihidupkan kembali karena jelas-jelas lebih relevan dan punya nilai signifikansi terhadap perubahan masyarkat Bojonegoro. Bisa jadi tanpa tanpa komitmen kuat para tokoh diatas pada peristiwa 25 September, tak akan pernah ada nama Bojonegoro, yang ada hanyalah Rajekwesi.
Namun, di tengah gegap gempita persiapan ritual tahunan peringatan Hari Jadi Bojonegoro, pernahkah teringat atau terpikir nama mereka atau peristiwa yang melingkupinya? Alih-alih teringat, rasanya kita lebih membanggakan cerita fiktif Angling Darma daripada mereka yang membangun Bojonegoro dengan darah dan perjuangan. Kalau benar begitu, kita sudah kehilangan karakter dan figur. Miris bukan ?
Bojonegoro – Surabaya 2013
Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya